Saat ini saya kita akan melancong sejenak ke daerah timur
pulau Jawa, tepatnya di daerah Ponorogo. Masyarakat Ponorogo memiliki satu
kesenian yang menjadi ciri khas tersendiri. Kesenian Ini merupakan salah satu
warisan budaya Indonesia yang harus dilestarikan dan tidak boleh hilang begitu
saja. Oleh karena itu, sekarang kita jalan-jalan sejenak ke sana OK! Let’s
check it out..
Ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat
tentang asal usul Reog Ponorogo dan Warok ,namun salah satu cerita yang paling terkenal
adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, dia adalah seorang abdi
kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada
abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak istri raja
Majapahit yang berasal dari Cina, selain itu juga murka kepada rajanya dalam
pemerintahan yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan
berakhir. Lalu ia meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan di mana ia
mengajar seni bela diri kepada anak-anak muda, ilmu kekebalan diri, dan ilmu
kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari
kebangkitan kerajaan Majapahit kembali. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil
untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan
melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja
Kertabhumi dan kerajaannya. Pagelaran Seni Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu
membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala
singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi
simbol untuk Kertabhumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga
menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya
yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh
kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan
pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan
warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki
Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih
dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya. Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu
akhirnya menyebabkan Bhre Kertabhumi mengambil tindakan dan menyerang
perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan
dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng
kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya
sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan
populer di antara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru di mana
ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono
Sewandono, Dewi Songgolangit, dan Sri Genthayu.
Berikut adalah salah satu versi sejarah Reog ponorogo.
Di bawah ini adalah versi resmi dari masyarakat Ponorogo sendiri.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita
tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning,
namun di tengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri.
Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak
Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujang Anom, dikawal oleh warok
(pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu
hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan
Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para
penari dalam keadaan "kerasukan" saat mementaskan tariannya.
Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang
menjadi warisan leluhur mereka sebagai warisan budaya yang sangat kaya. Dalam
pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya
aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun
menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya
tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan
Parental dan hukum adat yang masih berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar